Rupiah Anjlok, RI Malah Cuan Besar Dari Batu Bara Dan Mineral Lain
BACASAJA.ID - Kurs rupiah sempat stagnan sebelum akhirnya terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada pertengahan perdagangan Rabu (12/10/2022). Indeks dolar AS yang kembali perkasa menekan rupiah dan mayoritas mata uang di Asia.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah pada pembukaan perdagangan stagnan di Rp 15.355 per US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi sebanyak 0,16% ke Rp 15.380 per US$ pada pukul 11:00 WIB.
Di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, nyatanya ada terselip cuan bagi negara ini. Hal ini terlihat dari penerimaan negara sektor pertambangan mineral dan batu bara yang juga turut melonjak tajam.
Berdasarkan Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara hingga Rabu (12/10/2022) ini tercatat telah mencapai Rp 127,90 triliun atau 301,88% dari rencana penerimaan hingga akhir tahun ini sebesar Rp 42,37 triliun.
Adapun penerimaan negara tersebut berasal dari royalti, sewa lahan (deadrent), penjualan hasil tambang, dan lain-lain. Selama 1-12 Oktober 2022 ini saja, penerimaan royalti dari batu bara dan mineral seperti nikel, tembaga, timah dan lainnya telah mencapai Rp 2,45 triliun, penjualan hasil tambang Rp 0,81 triliun, dan pendapatan lain-lain Rp 0,06 triliun.
Penerimaan royalti tambang terbesar sejauh ini tercapai pada September 2022 dengan jumlah Rp 11,91 triliun,
Jumlah penerimaan negara dari pertambangan mineral dan batu bara hingga pertengahan Oktober 2022 ini bahkan telah melonjak 12% dibandingkan penerimaan negara setahun penuh pada 2021 lalu. Pada 2021 penerimaan negara dari sektor tambang mineral dan batu bara ini mencapai Rp 114,59 triliun.
Hingga akhir tahun jumlah penerimaan negara diperkiraan bisa semakin jauh lebih besar lagi.
Adapun penerimaan negara bukan pajak ini sebagian besar atau sekitar 70%-80% berasal dari batu bara, dan selebihnya dari pertambangan mineral, seperti nikel, timah, tembaga, emas, bauksit, dan lainnya.
Bukan tanpa alasan, ini terjadi karena sebagian besar produksi batu bara dan mineral Indonesia ditujukan untuk penjualan keluar negeri alias diekspor. Karena penjualan dalam mata uang dolar AS, sehingga ketika kurs rupiah melemah, ini tentunya berdampak positif bagi industri ini.
Pada 2021 misalnya, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia tercatat memproduksi batu bara sebanyak 613,99 juta ton. Dari jumlah produksi tersebut, batu bara diekspor sebanyak 435,22 juta ton atau sekitar 71% dari total produksi.
Adapun pemanfaatan batu bara untuk kepentingan domestik pada 2021 tercatat sebesar 133 juta ton.
Pada 2022 ini produksi batu bara nasional ditargetkan melonjak 8% menjadi 663 juta ton dengan target pemanfaatan batu bara untuk dalam negeri sebesar 165,7 juta ton dan selebihnya diekspor. Artinya, 75% batu bara yang diproduksi pada 2022 ini ditargetkan diekspor.
Hingga Rabu (12/10/2022), berdasarkan data MODI Kementerian ESDM, produksi batu bara telah mencapai 516,25 juta ton atau sekitar 77,87% dari target produksi tahun ini.
Selain volume ekspor yang meningkat, pengusaha batu bara tahun ini diberkahi lonjakan harga batu bara yang luar biasa. Sejak Perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022, harga batu bara kian "sakti". Dari yang sebelumnya berada di bawah US$ 250 per ton, lalu kian terkerek menuju US$ 300 per ton, bahkan melampaui US$ 400 per ton.
Pada 2 Maret harga batu bara sempat menyentuh US$ 446 per ton. Pada 5 September 2022 lalu harga batu bara sempat melonjak lagi menjadi US$ 463,75 per ton.
Pada perdagangan Selasa (11/10/2022), harga batu kontrak November di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 388,5 per ton. Harganya menguat 2,24% dibandingkan hari sebelumnya.
Begitu juga dari pertambangan nikel. Harga nikel pada tahun 2022 ini juga terpantau menguat dibandingkan tahun 2021 lalu. Harga nikel dunia di London Metal Exchange (LME) sejak awal tahun ini terus menanjak di atas US$ 20.000 per ton. Bahkan sempat menyentuh US$ 100 ribu per ton hingga akhirnya perdagangan nikel dihentikan pada awal Maret 2022 lalu.
Meski setelahnya harga nikel terlihat menurun, tapi rata-rata harga nikel dunia masih di atas US$ 20.000 per ton pada 2022 ini.
Ditambah lagi, kini RI tak lagi mengekspor dalam bentuk mineral mentah atau bijih nikel, melainkan sudah melalui proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri menjadi feronikel, Nickel Pig Iron (NPI), nickel matte, hingga stainless steel. Dengan demikian, penerimaan negara tentunya jauh lebih besar dibandingkan ketika sebelum 2020 lalu yang masih bisa mengekspor bijih nikel.
Produksi nickel matte RI hingga 12 Oktober 2022 ini tercatat mencapai 55.853,42 ton atau 66,57% dari rencana tahun ini sebesar 83.900 ton.
RI merupakan pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Data Kementerian ESDM 2020 dalam booklet bertajuk "Peluang Investasi Nikel Indonesia", menyebut cadangan logam nikel yang dimiliki RI sebesar 72 juta ton Ni (nikel).
Jumlah ini merupakan 52% dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton Ni. Data tersebut merupakan hasil olahan data dari USGS Januari 2020 dan Badan Geologi 2019.
Sementara untuk bijih nikel, berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, total sumber daya bijih nikel mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, dimana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.
Nikel memiliki banyak kegunaan mulai dari bahan baku pembuatan baterai untuk kendaraan listrik hingga bahan baku kendaraan listrik itu sendiri, sehingga RI menjadi incaran asing karena kekayaan sumber daya alam nikel ini. (CNB)
Berita Terkait


Berita Lainnya



